Hari ini saatnya aku meninggalkan hiruk pikuk kota besar ini. Setelah melewati lima bulan yang penuh huru-hara dan menguras tenaga, mental, serta uang, akhirnya aku menjalani liburan semester untuk pertama kalinya. Pagi ini, aku menggeret koper dan menenteng tote bag ku keluar dari halaman kos. Setelah semalaman aku menyiapkan semua pakaian yang akan aku bawa ke kampung halaman. Hatiku terasa bingah yang amat tak dapat ku bendung. Dari seminggu ke belakang, aku sudah membayangkan akan bertemu dengan orang-orang rumah dan tak sabar menceritakan hal-hal yang terjadi di kota ini. Aku mengulas senyum, selain tidak sabar aku bertemu dengan keluarga, aku juga tak dapat membendung perasaan rinduku pada sahabatku. Bagaimana ya kabarnya… sejak aku memutuskan untuk ke kota ini, kami jadi jarang berkomunikasi. Sebenarnya aku sudah sangat sering mengiriminya pesan, tapi dia seperti… mengabaikan, tidak, sepertinya dia sedang sibuk? Dia hanya membalas ala kadarnya…
Tak sadar aku melamun, hingga aku ditegur oleh bapak-bapak berkendara motor, ah rupanya itu bapak ojol yang akan mengantarku ke stasiun. Tak menunggu lama beliau pun memberiku helm dan menancap gas. Di tengah perjalanan aku menghirup udara pagi kota metropolitan ini. Hmmm sedikit sejuk karena cuacanya sedang mendung dan masih sekitar jam enam pagi. Beda lagi kalau sudah jam delapan, macet di mana-mana, suara klakson bersautan, dan tentunya polusi semakin tebal.
Dua puluh menit kemudian kami telah sampai di depan gerbang stasiun. Segera aku membayar pada bapak ojol dan mengembalikan helmnya. Tanpa menunggu apapun aku bergegas menuju tempat boarding. Ternyata sudah berjejer orang untuk mengantre scan tiket. Aku pun menempatkan diriku di barisan paling ujung belakang. Sembari menunggu giliranku, terdengar notifikasi dari ponselku. Ah rupanya dari sahabatku, akhirnya dia membalas pesan yang aku kirim dua hari yang lalu! Dua hari yang lalu, aku mengabarinya kalau aku akan pulang hari ini dan kita akan bertemu. Jawaban yang aku harapkan adalah dia akan antusias dan mengirim banyak referensi tempat yang akan kami kunjungi. Namun, yang aku dapatkan adalah dia hanya membalas, “Hai, Ney. Senang mendengarmu pulang, tapi maaf ya aku tidak bisa kemana-mana.” Belum sempat aku membalas, ternyata kini sudah giliranku untuk scan tiket.
Perjalanan empat jam berlangsung, dan selama itu pula kepalaku bertanya-tanya. Dia kenapa, ya? Apakah aku pernah mengatakan suatu hal yang membuatnya kecewa? Ah sudahlah, nanti aku datang saja ke rumahnya. Anmouncement kereta mengatakan bahwa sebentar lagi akan sampai di stasiun kota tempatku tinggal. Aku pun segera menurunkan koper dan tote bag ku untuk bersiap turun. Keluar dari stasiun aku disambut pelukan hangat oleh ibuku. Hangat sekali, aku sangat merindukan ini.
***
Satu minggu sudah liburanku berjalan. Satu minggu juga pesanku belum di balas lagi oleh temanku. Hari ini lah aku akan datang ke rumah sahabatku itu. Aku ingin melihatnya langsung, menanyakannya langsung. Segera aku tancapkan gas motorku ke rumah sahabatku itu. Sesampainya di depan rumahnya, aku segera menekan tombol bel yang ada di sana. Tak lama kemudian, keluarlah seorang perempuan tinggi, kurus, dan…
“Reya!” Aku termangu sebentar sebelum memanggilnya. Ia pun sama, termangu.
Segera aku memeluknya dan merasakan betapa kurusnya tubuh ini… dan juga mata Reya yang tampak bengkak dan merah. Seperti orang yang telah menangis tiada henti.
“Reya, kamu kenapa?” tanyaku penuh kekhawatiran.
Seolah merasakan kekhawatiranku, Reya melepaskan pelukan kami lalu menarikku untuk ke belakang rumahnya. Di sana, duduklah kami berdua di kursi tua panjang.
“Inilah yang tidak ingin aku lihat, Ney,” ucapnya.
“Apa? Apa yang tidak ingin kamu lihat, Rey?”
Reya diam, aku pun angkat suara lagi. “Kamu kenapa?” Aku menatapnya. Penampilan Reya sungguh acak-acakan, tidak seperti biasanya
“Ney ada hal yang belum aku ceritakan padamu.” Reya membuka suara.
“Apa, Rey? Kenapa?” tanyaku mendesak.
“Ibuku… pergi, Ney,” ujar Reya lirih, sangat lirih. Bahkan aku bisa merasakan sakit dalam suaranya.
Terkejut, iya. Tentu saja aku terkejut karena dia tidak pernah sekalipun cerita tentang ini padaku. Sekarang nampak sekali penampilan Reya. Tubuhnya semakin kurus dan ya, matanya itu sembab.
“Reya, kenapa… kenapa tidak kamu ceritakan padaku dari awal? Am I not worthy of getting this news, Rey? Persahabatan kita sudah berapa lama, Rey? Hampir empat tahun.”
“Ney, bagaimana mungkin aku cerita padamu soal ini sedangkan kamu punya beban tersendiri? Aku tidak ingin menambah bebanmu lagi, Ney.”
“Beban? Justru inilah yang menjadi beban, Rey. Kamu tidak bercerita apapun sampai aku tahu sendiri. Coba kalau aku tidak datang, apakah aku tahu? Sahabat macam apa aku ini?” Aku menghela napas sebentar lalu menghembuskan perlahan. “Rey, just… tell me.”
Reya menunduk, aku mendengar isakannya. Jadi, selama ini ia memendam ini sendirian. Reya tidak punya siapa-siapa lagi selain ibunya dan mungkin aku. Seharusnya ia membagi bebannya padaku dengan bercerita tentang kondisinya. Bukankah manusia butuh teman cerita?
“Rey, aku masih sahabat kamu.”
“Aku tahu, Ney. Aku tidak bermaksud untuk menganggapmu tidak penting. Aku hanya… aku… aku tidak tahu harus bagaimana lagi, Ney. Aku sudah mengusahakan pengobatannya selama empat bulan itu, tapi gagal, Ney… Ibuku memilih untuk nyerah bulan lalu…” Reya mulai kesulitan berbicara. Aku pun langsung memeluknya.
“Rey, kamu tidak gagal. Tuhan lebih sayang ibumu supaya tidak merasakan sakit lagi. Ayo di sisa liburanku ini, aku akan menemanimu,” ujarku padanya.
Aku tahu beban yang ia pikul. Ia sendirian hanya dengan ibunya. Sejak kelulusan Sekolah Menengah Atas, jalan hidup kami berbeda. Kami harus menentukannya sendiri. Jadi, kami berpikir bagaimana caranya supaya tidak salah mengambil langkah. Beberapa minggu sebelum aku berangkat ke perantauan, Reya pernah bilang kalau ia akan melamar ke beberapa tempat kerja. Namun, beberapa waktu kemudian lamaran yang ia apply itu tidak menunjukkan tanda-tanda di terima bahkan banyak yang ditolak. Kuliah? Tidak, dia ingin membantu ibunya yang sudah renta dan sakit-sakitan untuk mencari nafkah. Maka aku berusaha untuk selalu memeganginya saat ia akan terjatuh, menompangnya saat ia mulai terkulai. Aku ingin menjadi seseorang yang bisa menjadi tempatnya bercerita. That’s what a good friend should be.
-Cita Laras