Kata orang, kasih ibu sepanjang masa. Nyatanya itu bohong. Setelah ibu tiada, kasih sayang yang harusnya kuterima menjadi sirna. Ayah juga kehilangan senyumnya, bahkan sulit untuk diajak bicara. Saat pemakaman ibu, mereka bilang padaku untuk bersabar. Saat itu aku tidak mengerti maksud mereka. Tentu saja, usiaku hanya 5 tahun saat ibu pergi. Semenjak kepergian ibu, semua orang menatapku dengan kasihan, ayah pun begitu.
Di usiaku yang sudah dewasa, ayah membawaku ke kampung halamannya di Osaka, Jepang. Ayah bilang, di negeri ini pekerjaannya lebih layak. Ayah sudah tua, tak tahu kapan ajal menjemputnya. Setidaknya dia ingin bertemu kawan lamanya dan berpisah di tempat kelahirannya. Pikirku dengan pergi jauh dari rumah, aku pikir sesuatu mungkin berubah. Aku juga kasihan melihat ayah kesepian, jadi aku turuti saja kemauannya.
Tunggu, harusnya bukan kasihan, harusnya aku merasa sayang pada ayah. Entahlah, nampaknya kepergian ibu masih menjadi beban di hatiku. Setelah ibu pergi, aku merasa ayah tidak sayang padaku, jadi perlahan aku hanya merasa kasihan pada ayah. Aku merasa kasihan pada ayah yang harus merawatku sendirian. Karena itulah, aku tidak berpikir dua kali dan pindah ke Osaka.
Kota ini terasa tenang, berbeda dengan hiruk pikuk Jakarta yang tak ada habisnya. Setelah genap 1 bulan semenjak pindah ke kota ini, aku mulai mengirim lamaran kerja ke beberapa perusahaan. Kuhabiskan hari demi hari untuk melakukan tes tulis dan wawancara. Beruntungnya, salah satu perusahaan mau menerimaku sebagai petugas administrasi yang bukan lulusan perguruan tinggi ternama.
Aku mulai bekerja sejak 3 bulan lalu. Sejauh ini pekerjaanku berjalan lancar, tak ada masalah dalam komunikasi karena aku terbiasa menggunakan bahasa Jepang dengan ayah sedari kecil. Meski bukan perusahaan besar, gaji yang diberikan lebih dari cukup. Tugas yang kulakukan juga tidak rumit, hanya mencatat informasi dan permintaan klien kemudian menyampaikannya pada detektif yang sedang bertugas.
Satu-satunya hal yang semakin rumit adalah hubunganku dengan ayah. Rasanya sulit sekali bicara dengannya. Tiap kali aku membahas ibu, ayah hanya diam tanpa ekspresi membuatku muak. Karena aku sudah dewasa, kukira aku dapat lebih mengerti kondisi ayah. Lelah sekali rasanya, seperti ditinggal kabur orang yang kita sayangi. Apakah ayah benar-benar hanya kasihan dan tidak lagi menyayangiku?
Hari ini, pukul lima sore, aku baru saja pulang kerja. Di tengah perjalanan pulang, aku melihat seekor anak kucing berteriak di samping induknya. “Kasihan sekali.” batinku. Setelah kulihat lebih dekat, ternyata induknya sudah tidak bernyawa. “Kasihan sekali.” ujarku dalam hati. Terbesit di pikiranku untuk membawa kucing kecil ini ke rumah, lagipula aku juga berencana memelihara seekor hewan di rumah. Kumantapkan keputusanku untuk membawanya pulang.
Sesampainya di rumah, ayah sedang duduk di sofa depan televisi. Aku harap ayah tidak keberatan dengan kehadiran kucing kecil yang kubawa pulang. “Aku pulang!” seruku saat melewati ruang tamu. Ayah sempat menoleh dan menyadari kucing di gendonganku.
“Apa yang kamu bawa pulang?”
“Kucing, aku kasihan melihatnya sendirian…” jawabku pelan.
“Kamu mau memeliharanya?”
“Iya.” jawabku singkat
“Sudah dibawa ke dokter hewan?”
“Belum…”
“Pergilah besok, besok sudah mulai libur kan?”
“Tapi aku tidak tahu klinik hewan di dekat sini…”
“Aku akan mengantarmu besok, bersihkan dia dan beri makanan.”
“Baiklah.”
Sudah 17 tahun sejak perginya mendiang istriku. Sulit sekali untuk berdamai dengan diri sendiri, lidahku kelu tiap putriku bertanya tentang ibunya. Hari ini pertama kalinya aku sedikit berbincang dengan putriku. Selama membesarkannya, aku tidak tahu apa yang dia suka dan tidak. Namun dia tiba-tiba membawa seekor kucing yang sepertinya dari jalanan, mirip sekali dengan ibunya dulu. Seakan menyadarkanku bahwa putriku bukan lagi anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Mungkin sudah saatnya aku bangkit untuk memeluk putriku sekali lagi.
Keesokan harinya, ayah membawaku pergi ke klinik hewan sesuai janji untuk memeriksa kesehatan Yuki. Kami menamai kucing kecil itu Yuki karena bulunya yang putih seperti salju. Beberapa minggu kemudian, ayah mengajakku bicara dan menanyakan bagaimana pekerjaanku. Ayah juga mulai terbuka dan bercerita tentang ibu kepadaku. Dan hal yang paling membuatku senang adalah “Ayah selalu menyayangimu.” ungkapnya sambil mengusap kepalaku.
Aku belajar untuk mengerti kepedulian ayah akan masa depanku juga termasuk bentuk rasa sayangnya kepadaku. Rasa sayang memang tak selalu dibuktikan dengan kata-kata. Tapi perlu untuk menyampaikan perasaan satu sama lain dan kesadaran diri untuk berubah bukan hanya untuk diri sendiri, namun juga untuk orang yang kita sayangi.
-Firdausi Nuzula
